Hai Ibu Hamil, Kenali Perbedaan Kontraksi Normal dan Perangsang Persalinan

Jakarta, Saat santai, pernahkah tiba-tiba Anda mengalami kontraksi? Bisa saja, namun perlu Anda ketahui perbedaan dari kontraksi normal dan kontraksi pemicu persalinan.

Disampaikan oleh dokter spesialis kebidanan dan kandungan RSUD Dr Soetomo Surabaya, dr Hari Nugroho, SpOG, bahwa sebenarnya kontraksi rahim memang sering terjadi pada ibu hamil. Bahkan ketika tidak melakukan apa-apa.

"Tapi perlu dibedakan kontraksi yang normal dan kontraksi yang berbahaya alias yang merangsang terjadinya persalinan prematur," ujar dr Hari kepadadetikHealth, seperti ditulis pada Sabtu (8/8/2015).

Menurutnya, pada kontraksi normal umumnya ibu hamil tidak merasakan nyeri, hanya merasa perutnya mengeras dan tidak lama. Lain halnya dengan kontraksi yang berbahaya.

Selain merasa perutnya keras, sang ibu biasanya juga akan merasakan nyeri yang makin lama makin hebat, kontraksi yang makin lama dan akhirnya disertai keluarnya lendir campur darah dari kemaluan.

"Untuk kontraksi yang mengakibatkan persalinan prematur seringkali disebabkan oleh kondisi ibu yang stres, infeksi, kelainan pada leher rahim (cervix), bayi kembar, cairan ketuban yang banyak, hingga perdarahan plasenta," tutur dokter pemilik akun Twitter @drharinugroho ini.

Sementara itu, dr Tirsa Verani, SpOG dari Brawijaya Women and Children Hospital menjelaskan ada beberapa sebab mengapa ibu hamil tak kontraksi meski kehamilan sudah di atas 36 pekan. Salah satunya adalah kepala janin yang belum masuk ke area panggul.

"Kontraksi itu kan terjadi karena ada tekanan, jadi artinya kepala bayi sudah mulai turun. Kalau kepala bayi belum masuk ke panggul tentu nggak akan mulas, karena nggak ada yang nekan," kata dr Tirsa.

Sebab lain kontraksi tak terjadi adalah ukuran bayi yang terlalu besar sehingga menyulitkan kepala bayi masuk ke panggul, atau kepala bayi yang tak berada di bawah. Kontraksi bisa juga tak muncul karena letak kepala bayi yang menengadah sehingga sulit masuk ke area panggul.

Jika memang dirasa usia kehamilan sudah cukup namun tak juga kontraksi, dr Tirsa menyarankan bumil untuk menghubungi dokter. Dokter akan mencari penyebabnya dan menentukan langkah apa yang harus dilakukan.
(ajg/up)

sumber: health.detik.com

Kenali, Berbagai Faktor Risiko Kanker Paru-paru

Jakarta, Merokok menjadi salah satu fakor risiko kanker paru-paru. Selain itu, ada faktor lain yang tidak bisa dikesampingkan.

"Kebiasaan merokok berhubungan dengan sekitar 70% kematian akibat kanker paru," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kemenkes RI, Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K), MARS, DTM&H, DTCE.

Dalam keterangannya kepada wartawan dan ditulis pada Sabtu (1/8/2015), Prof Tjandra menyebutkan bahan lain yang juga faktor risiko kanker paru adalah radon, asbestos, arsenik, berilium dan uranium, serta riwayat radiasi. Mempunyai penyakit paru lain  seperti emfisema, bronkitis kronik, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan TB juga meningkatkan risiko terkena kanker paru.

"Riwayat keluarga yang juga menderita kanker paru, serta pernah mengalami kanker di alat tubuh lain juga menjadi faktor risiko.  Kemudian, risiko mendapat kanker paru meningkat dengan pertambahan usia, dan laki-laki lebih sering dari perempuan," lanjut Prof Tjandra.

Untuk gejala kanker paru di antaranya perubahan jenis dahak, nyeri dada atau punggung, batuk darah, dan sulit menelan. Kanker paru adalah salah satu kanker terbanyak di dunia dengan tingkat kematian lebih banyak daripada gabungan kematian akibat kanker payudara, kolon dan prostat.


Satu dari lima kematian akibat kanker di dunia terjadi akibat kanker paru, dan setiap tahun ada lebih dari 1,8 juta kasus kanker paru baru di dunia. Sementara itu, dikatakan Prof Tjandra, estimasi WHO tentang 10 penyebab kematian di dunia tahun 2015 menunjukkan bahwa kanker paru, trakea dan bronkus merupakan penyebab kematian ke-7 di dunia.

"Tanggal 1 Agustus ini diperingati sebagai World Lung Cancer Day. Maka dari itu, menghindari faktor risiko dan melakukan deteksi dini akan amat berperan untuk keberhasilan pengobatan," ucap Prof Tjandra yang juga Guru Besar Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini.

sumber: health.detik.com

Kelak Kanker Pankreas Bisa Terdeteksi Sejak Dini Hanya dengan Tes Urine

London, Di sejumlah negara seperti Inggris, kanker pankreas merupakan kanker yang paling mematikan. Namun untuk menurunkan kefatalan penyakitnya, tes khusus untuk menentukan risiko kanker pankreas sendiri masih belum ditemukan.
 
Kanker pankreas tergolong paling mematikan karena hanya 3 persen pasien yang bisa bertahan hidup hingga lima tahun. Padahal peluang hidup pasien kanker payudara mencapai 87 persen dan 98 persen untuk kanker testis.
 
Persoalannya, kanker pankreas hanya memperlihatkan sedikit gejala di stadium awal. Jadi baru bisa terdeteksi bila stadiumnya sudah lebih tinggi. Kalaupun muncul gejala di awal seperti nyeri punggung, tubuh menguning, dan penurunan berat badan, hal ini seringkali dikira penyakit yang lebih umum seperti gangguan pencernaan.


Hingga akhirnya beberapa waktu lalu tim peneliti dari Queen Mary, University of London berhasil mengidentifikasi tiga protein khusus dalam urine yang ternyata dapat memberikan 'tanda peringatan dini' akan adanya kanker pankreas.

Protein ini ditemukan setelah peneliti mengamati 500-an sampel urine. 200 sampel di antaranya milik pasien kanker pankreas, 92 sampel dari orang-orang dengan pankreatitis kronis atau radang pankreas, dan 87 sampel milik partisipan yang tidak mengidap penyakit apapun. Sisanya adalah sampel urine dari pasien kanker hati jinak maupun ganas, serta gangguan pada kantung empedu.

Total ada 1.500-an protein yang ditemukan dalam sampel-sampel ini. Namun tiga di antaranya, masing-masing diberi nama LYVE-1, REG1A, dan TFF1 tampak lebih banyak ditemukan pada pasien kanker pankreas. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa pada pasien radang pankreas, kadar ketiga protein tampak lebih rendah dibandingkan pasien kanker pankreas sendiri.

Ini artinya, hanya dengan memanfaatkan keberadaan ketiga protein itu, peneliti dapat membedakan mana kanker dan mana radang pankreas kronis, yang biasanya sulit sekali dibedakan.

"Ini adalah panel biomarker dengan spesifikasi dan kepekaan yang tinggi, dan harapannya dari sini kami bisa menciptakan tes urine yang sederhana serta terjangkau dan digunakan untuk tujuan klinis dalam lima tahun ke depan," tekad ketua tim peneliti, Dr Tatjana Crnogorac-Jurcevic seperti dikutip dari BBC, Kamis (6/8/2015).

Jika tumor pada pankreas dapat ditemukan pada tahapan yang sangat dini, maka pengobatannya akan lebih mudah, begitu juga dengan peluang kesembuhannya yang semakin besar. Peneliti memprediksi deteksi dini pada pasien kanker pankreas dapat meningkatkan peluang hidup mereka dari yang semula hanya 3 persen menjadi 60 persen.
 
 
Penyebab kanker pankreas sendiri belum diketahui sampai detik ini. Namun pakar mengingatkan risikonya bisa lebih tinggi pada orang-orang dengan riwayat keluarga pernah mengidap kanker pankreas, perokok berat, obesitas dan orang berumur di atas 50 tahun yang baru saja terkena diabetes.(lll/up)

sumber: health.detik.com